Memaknai Memayu Hayuning Bawana Pada Hari Lahir Keraton Jogja

Memaknai Memayu Hayuning Bawana Pada Hari Lahir Keraton Jogja

Memaknai Memayu Hayuning Bawana Pada Hari Lahir Keraton Jogja

Solopos.com, JOGJA – Keistimewaan Jogja bukan hanya lahir dari peristiwa-peristiwa pada masa proklamasi. Menurut Kepala Bagian Pelayanan dan Umum Paniradya Kaistimewan, Ariyanti Luhur Tri Setyarini, dasar penetapan keistimewaan Jogja jauh di belakang, bahkan sampai pada awal berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Jogja pada 13 Maret 1755.

“Dalam keistimewaan ada dua entitas yang menjadi penanda keistimewaan yaitu kasultanan dan kadipaten. Kesultanan tidak lepas dari Hadeging Negari Ngayogyakarta Hadiningrat,” kata Ariyanti dalam acara daring Paniradya Kaistimewan bertajuk Rembag Kaistimewan: Memperingati Hadeging Negari Ngayogyakarta Hadiningrat pada Selasa (16/3/2021).

Tahun ini Keraton Jogja berusia 266 tahun dalam perhitungan tahun Masehi, atau 274 tahun dalam perhitungan penanggalan Jawa. Berdirinya Keraton Jogja merupakan sejarah penting yang perlu warga Jogja ingat.

Menurut Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, masyarakat harus senantiasa sadar masa kini perlu ditata dengan visi para pendahulu. Pangeran Mangkubumi atau Sultan HB I telah menancapkan fondasi kuat agar Keraton Jogja menjadi wilayah yang luhur, agung, dan memberikan manfaat.

Hasto tidak sepakat pada anggapan bahwa sejarah hal yang kuno atau jadul. “Tidak, saya kira sejarah tidak akan ketinggalan zaman, asalkan nilainya direvitalisasi,” kata Widihasto.

Salah satu nilai paling esensial dari Sultan HB I yaitu memayu hayuning bawana. Manusia perlu selasar dan seimbang dengan seluruh jagad raya. Apabila lingkungan tercemar atau rusak, maka rusak pula kehidupan manusia.

“Esensi yang penting menyambungkan masa lalu dengan masa sekarang, dengan semangat memayu hayuning bawana,” kata Widihasto.

Dua Naga

Hadir pula dalam acara ini Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Inajati Adrisijanti. Dia menjelaskan arti dari lambang Dwi Naga Rasa Tunggal yang ada di Keraton Jogja. Lambang tersebut merupakan sengkalan (cara menandai tahun) memet yang menandai berdirinya Keraton Jogja pada 1682, menurut penanggalan Jawa.

“Itu harus disosialisasikan pada khalayak ramai, juga pada orang-orang muda. Tidak melihat sebagai hiasan, tapi ada maknanya,” kata Inajati.

Simbol naga merupakan perlambang keberanian dan perjuangan. Dua naga terdiri dari betina dan jantan. Keberanian dan perjuangan harus didukung oleh kedua unsur itu. Menurut Inajati, dalam budaya Jawa ada bahasa biner atau dua sisi. Contohnya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, dan sebagainya.

“Berati ada keterpaduan antara unsur-unsur itu di dalam membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Walaupun mukanya membelakangi, tapi ekornya mengikat. Ada makna filosofinya, selain menandai tahun, ada maknanya,” kata Inajati.

Sebelum pembangunan Keraton Jogja selesai, Sultan HB I tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang selama satu tahun. Pemilihan tempat ini juga bukan tanpa pertimbangan.

Sebagai ahli strategi perang, Sultan HB I memiliki pertimbangan sendiri. Keberadaan Ambarketawang yang berada di beberapa sungai sebagai salah satu penghambat musuh untuk datang. “[Ambarketawang] melewati beberapa sungai, tidak gampang melewati sungai kala itu,” kata Inajati.

https://www.solopos.com/memaknai-memayu-hayuning-bawana-pada-hari-lahir-keraton-jogja-1112857

Share