Wayang Kulit Fleksibel saat Pandemi Covid-19, Ini Buktinya…
Solopos.com, SOLO — Pagebluk Coronavirus diseases 2019 memukul mundur segala lini kehidupan. Tak terkecuali pakeliran wayang kulit yang turut terpukul di tengah pandemi Covid-19.
Pentas wayang tradisional yang biasanya diadakan langsung dengan mengundang kerumunan, kini hanya dihidupkan di layar virtual. Namun, dari layar virtual itulah fleksibilitas wayang kulit tradisional terbukti di tengah pandemi Covid-19. Memang tak ada lagi penonton langsung, mereka ramai riuh di handpone masing-masing.
Konsep tersebut yang digarap oleh panitia Hari Wayang Dunia (HWD) VI tahun ini. Mengusung tema “Wayang-19: Inovasi Seni Dalam Pandemi”, acara dimulai Senin (2/11/2020) malam dengan seminar budaya dan pentas kolaborasi Ki Blacius Subono serta Ki Nanang Hape.
Disusul sejumlah agenda lainnya hingga Jumat (7/11/2020) malam yang disiarkan di kanal Youtube ISI Surakarta Official. Pakeliran singkat ini diadakan setiap pukul 19.00 WIB hingga selesai.
Panitia menghadirkan wayang dari berbagai daerah mulai gaya Solo, Banyumasan, hingga Jawa Timuran. Termasuk menghadirkan karya mahasiswa Prodi Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.
Jangkau Mancanegara
Ketua Umum HWD VI dari ISI Solo, Catur Nugroho, mengatakan bahwa Covid-19 menggeser pola hidup konvensional menjadi tanpa batas. Hal ini sebenarnya selaras dengan revolusi 4.0 yang memproyeksikan adanya kolaborasi antara tatanan lama dengan kemajuan teknologi dan informasi.
Gelayutan di Jembatan Kereta, Warga Bogor Bikin Jantungan
Konsep borderless atau tanpa batas ini juga masuk di ranah pedalangan. Pentas wayang kulit tradisional yang dulu mengandalkan penonton di sekitar lokasi pentas, sejak pandemi Covid-19 melanda makin berkembang.
Pada era virtual ini, satu judul wayang bisa disaksikan hingga mancanegara. Bahkan bisa diputar ulang bagi mereka yang ketinggalan siaran.
Selama pandemi ini banyak dalang yang gelar pentas virtual dengan menerapkan protokol kesehatan yakni pakai masker, jaga jarak, dan rajin cuci tangan. Hal ini dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19.
Menurut Catur hal itu jadi bukti kesiapan seniman sekarang hadapi perkembangan zaman. “Seniman harus adaptif dan responsif. Seniman kreatif inovatif adalah yang berani bertindak, enggak hanya angan. Mari sama sama bangun siklus atau suasana produktif dan kondusif. Menapai situasi baru akan datang,” kata Catur.
Dalang senior, Blacius Subono, mengatakan sejatinya wayang merupakan seni tradisi yang cukup adaptif. Sehingga dia punya keyakinan besar ke depan bisa bertahan hadapi perkembangan zaman. Ia ingat betul dulu pada era 80an ada perubahan dari pakeliran panjang menjadi pakeliran padat. Kemudian ada Wayang Sandosa yang merupakan pakeliran garap baru dengan layar lebar dan menggunakan Bahasa Indonesia.
Pandemi Covid-19 ini justru menjadi tantangan para seniman untuk terus berinovasi dengan pergelaran seni pertunjukan wayang. Dalam situasi pandemi ini, kata Blacius, semua beralih ke format televisi (TV) yang kemudian diunggah di sejumlah platform streaming seperti Youtube atau zoom.
“Bikin karya seperti film. Ada beberapa pertimbangan misal efek yang bisa membuat karya menarik di YouTube. Justru dengan format YouTube ini yang menonton semakin banyak, hingga ke luar negeri. Ini jadi tantangan bersama. Yang paling penting adalah peka, terlatih, dan kulina. Asal itu dilakoni, karyanya bisa bermanfaat,” terangnya.
Wayang Twitter
Dalang Wayang Urban, Nanang HP, lebih dulu menggarap karya inovatif berbasis media daring. Sekitar lima tahun lalu dia kerap menggarap wayang Twitter.
Kala itu banyak yang ‘nanggap’ wayang Twitter Nanang HP. Sejumlah orang di luar Jawa bahkan tertarik karena dia menggunakan pendekatan urban dengan Bahasa Indonesia. Misalnya menuliskan cerita singkat Kumbakarna Gugur, Rama Shinta, dan masih banyak lagi.
Karyanya sampai dibukukan penggemar asal Singapura. Zaman berkembang, Nanang, kemudian beralih ke laman Instagram dengan konsep berbeda. Nanang mengatakan konsep wayang urban garapannya bisa diterima karena fleksibilitas.
Dalang harus bisa menyesuaikan garapan sesuai media sosial yang digunakan. Misalnya ketika menceritakan via Twitter maka harus menggunakan bahasa singkat yang mudah dimengerti. Tidak boleh terlalu panjang agar warganet tidak merasa bosan.
Kemudian jika digarap dengan Instagram harus banyak bermain dengan gambar dan video yang menarik. “Ya intinya inovasi itu harus digarap sesuai dengan karakter media sosialnya. Agar bisa diterima masyarakat,” terangnya. Ika Yuniati
https://www.solopos.com/wayang-kulit-fleksibel-saat-pandemi-covid-19-ini-buktinya-1090679