Gara-gara Terganjal Masalah Aset, Banyak SMA dan SMK di Jateng Kesulitan Dapat Bantuan

Gara-gara Terganjal Masalah Aset, Banyak SMA dan SMK di Jateng Kesulitan Dapat Bantuan

Gara-gara Terganjal Masalah Aset, Banyak SMA dan SMK di Jateng Kesulitan Dapat Bantuan

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Alih kewenangan pengelolaan SMA dan SMK dari kabupaten dan kota ke provinsi, masih menyisakan masalah kepemilikan lahan.

Data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah, setidaknya ada sekitar 70 SMA dan SMK negeri yang berdiri di tanah bukan aset provinsi.

Puluhan sekolah tersebut masih berdiri di tanah banda desa atau kas desa, tanah milik kabupaten atau kota, milik Perhutani, atau PT KAI.

“Persoalan aset ini dirasakan ketika negara mau membantu sekolah tersebut untuk perbaikan sarana dan prasarana atau pengembangan sekolah, itu jadi kesulitan,” kata Sekretaris Disdikbud Jateng, Suyanta, Senin (29/11/2021).

Kucuran anggaran dari pemerintah untuk sekolah, sebetulnya sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan.

Mengingat 20 persen pos anggaran pemerintah diperuntukan untuk pendidikan.

Menurutnya, meskipun sama-sama milik pemerintah, namun proses beralihnya tanah tersebut membutuhkan waktu yang panjang.

Ia berharap ada kebijaksanaan dari pemilik tanah, baik itu pemerintah daerah, kabupaten/kota, atau BUMN yang berkuasa atas tanah tersebut agar menyerahkan asetnya kepada provinsi.

Untuk keperluan penyerahan aset, bisa dilaksanakan dengan berbagai cara, apakah dihibahkan ke pemerintah provinsi atau dengan skema tukar guling.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jateng, Quatly Abdulkadir Alkatiri menuturkan agar dinas terkait segera mendata sekolah yang dikelola provinsi yang berdiri di tanah kas desa atau pihak lain.

“Inventarisir semua sekolah yang berdiri dengan status pihak lain, bukan provinsi.

Setelah itu bisa disiasati apakah tanah itu bisa milik provinsi dengan jalan tukar guling atau dibeli,” kata wakil rakyat dari Fraksi PKS ini.

Quatly menegaskan, pelimpahan kewenangan dengan skema tanah dibeli menjadi opsi positif lantaran bisa jadi pemasukan kas desa.

“Buat perhitungan yang tepat lalu bisa dimasukan ke dalam pos anggaran.

Pembelian aset bisa dilaksanakan secara bertahap. Kalau mampu, ya pada 2023 semua aset itu dibeli semua, jadi sekali jalan selesai. Ingat, pos anggaran terbesar ada di pendidikan dan kesehatan,” tegasnya.

Menurutnya, status kepemilikan harus jelas secara hukum sehingga bisa dipertanggung jawabkan. Selain itu, agar sekolah bisa mengembangkan potensi yang ada secara leluasa, tidak terikat dengan permasalahan status tanah.

“Kalau legalitas sekolah itu jelas, kan bagus, ada kegiatan sekolah, anggaran mudah digelontorkan. Karena pengembangan sekolah, apalagi di daerah sangat penting,” imbuhnya. (*)

Share