Yogyakarta Peringkat Atas Minat Baca Tertinggi di Indonesia Versi UNESCO

Yogyakarta Peringkat Atas Minat Baca Tertinggi di Indonesia Versi UNESCO

Yogyakarta Peringkat Atas Minat Baca Tertinggi di Indonesia Versi UNESCO

KOMPAS.com – Berdasarkan data survei UNESCO, minat baca di Indonesia paling tinggi dipegang oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil survei menyebutkan, Yogyakarta memiliki indeks baca 0,049, sedangkan Singapura telah mencapai indeks baca 0,45.

Berdasarkan data minat baca dan angka tuna aksara di atas, kondisi itu berpengaruh terhadap posisi Human Development Index (HDI) Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2014 nilai HDI mengalami kenaikan tipis menjadi 68,90 dari 68,4 pada 2013.

Dari data statistik UNESCO pada 2012 juga menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.

Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca. Menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO ini, Indonesia berada di nomor 69 dari 127 negara.

Dengan demikian, rata-rata secara nasional setiap individu tidak sampai satu judul buku perorang per tahun yang dibaca.

Berdasarkan data yang dirilis oleh United Nations Development Program (UNDP), HDI Indonesia tahun 2013 berada di peringkat ke 108 dari 187 negara. Angka HDI ini menandakan bahwa nilai Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sejumlah negara di ASEAN.

Keadaan HDI di atas mendorong Indonesia untuk terus meningkatkan HDI dengan meningkatkan pembangunan di berbagai sektor karena HDI/IPM (Indeks Pembangunan Manusia) diukur dari usia harapan hidup (tingkat kesehatan), pertumbuhan ekonomi, dan kualitas pendidikan.

Di daerah 3T atau tertinggal, terluar dan terjauh, banyak sekali anak-anak dan perempuan yang minat baca rendah, termasuk buta aksara.

Untuk menuntaskan buta aksara dan meningkatkan minat baca, Kemendikbud Ristek punya cara khusus.

Cara itu yakni menjadikan para ibu yang tinggal di daerah tertinggal, terluar, dan terpencil atau 3T dan anaknya duduk di bangku PAUD diminta masuk ke dalam program khusus untuk membantu pemerintah.

Melalui program Gerakan Pendidikan Pemberdayaan Perempuan Marginal (GP3M), para ibu ini akan mengedukasi bahkan bisa menjadi duta baca di lingkungannya.

Kemendikbud Ristek mencatat, saat ini dua per tiga penduduk buta aksara dan 60 persen warga belajar pendidikan keaksaraan adalah perempuan.

Melansir dari laman anggunpaud, program peningkatan kualitas hidup perempuan marginal yang digagas Direktorat Jenderal PAUD Dikdasmen telah memasuki tahun ke tujuh sejak diluncurkan tahun 2015.

Perempuan khususnya ibu sebagai tiang dan pilar kehidupan keluarga selama satu setengah tahun pandemi Covid-19 merupakan pihak yang paling merasakan dampak buruk akibat berkurangnya pemasukan perekonomian keluarga.

Terlebih lagi, kaum perempuan atau ibu rumah tangga yang berada di kawasan 3T imbas pandemi Covid-19 terhadap sendi perekonomian keluarga lebih sulit.

Karena itu, kehadiran program Gerakan Pendidikan Pemberdayaan Perempuan Marginal (GP3M), Desa Vokasi, dan Pendidikan Kecakapan Hidup Perempuan (PKHP) sangat terasa kebermanfaatanya.

“Saya sangat berharap begitu bantuan pemerintah pusat tersebut diterima, saya harapkan Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendidikan, Sanggar Kegiatan Belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan satuan pendidikan keaksaraan dan kesetaraan dapat segera melakukan aktivitas. Saat ini, Bantuan Program yang diberikan Pemerintah Pusat sangat membantu percepatan pemulihan ekonomi nasional, khususnya di daerah,” ujar Direktur Pendidikan Masyarakat dan Layanan Khusus Kemendikbud Ristek, Samto.

Menurut Samto, pendidikan pemberdayaan perempuan sejatinya pengembangan pendidikan masyarakat merupakan upaya peningkatan kemampuan personal orang dewasa sebagai anggota masyarakat yang pada gilirannya dapat meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai investasi masyarakat dalam proses pembelajaran pendidikan sepanjang hayat.

“Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus berupaya meningkatkan keaksaraan penduduk orang dewasa melalui berbagai program yang terintegrasi dengan program keaksaraan usaha mandiri, pengembangan budaya baca masyarakat, pengarusutamaan gender bidang pendidikan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keorangtuaan, dan penataan kelembagaan pendidikan nonformal,” ujarnya.

Sejumlah negara, komunitas internasional dan UNESCO sangat mengapresiasi program pemerintah ini yang dinilai konsisten dan bermanfaat meringankan beban perempuan sebagai tiang keluarga.

Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus berdasarkan latar belakang di atas mengembangkan model pembelajaran yang komprehensif bukan hanya sekedar belajar membaca, menulis dan berhitung (calistung).

Akan tetapi dilakukan dengan menyediakan layanan pendidikan nonformal melalui program Program Pendidikan Pemberdayaan Perempuan yakni Program Program Pendidikan Pemberdayaan Perempuan Marjinal (GP3M), Desa Vokasi dan Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKH-P).

“Program-program tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah rendahnya pengetahuan akibat minat baca yang kurang, rendahnya kreativitas, serta sulitnya akses informasi oleh masyarakat,” ujarnya.

Program GP3M, Desa Vokasi dan PKH-P merupakan program Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, berketerampilan, maju, dan mandiri melalui kegiatan membaca dan berlatih agar memiliki pemahaman yang luas.

Keberadaan Program Program Pendidikan Pemberdayaan Perempuan akan memberikan perluasan akses informasi kepada masyarakat, menumbuhkan dan membudayakan minat baca, mengembangkan sikap positif, dan mengembangkan keterampilan.

Dengan demikian, keberadaan Program Program Pendidikan Pemberdayaan Perempuan dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup setiap anggota masyarakat.

Dengan memiliki pandangan dan wawasan yang jauh ke depan agar perencanaan dan kemampuan individu untuk merancang dan mempersiapkan masa depan menjadi jauh lebih baik.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/06/07/092108371/yogyakarta-peringkat-atas-minat-baca-tertinggi-di-indonesia-versi-unesco?page=all#page2

Share