Nabuh Beduk: Tradisi Syiar Ramadan Di Masjid Agung Solo

Nabuh Beduk Tradisi Syiar Ramadan Di Masjid Agung Solo

Nabuh Beduk Tradisi Syiar Ramadan Di Masjid Agung Solo

Solopos.com, SOLO – Suara beduk yang menggema dari Masjid Agung Solo, Jumat (16/4/2021) siang seolah memanggil para jemaah untuk datang menunaikan salat Jumat. Beduk tersebut ditabuh oleh Sukimin, 74, sekitar 30 menit.

Beduk di Masjid Agung Solo itu biasa ditabuh lima kali sehari sebelum jam salat dengan durasi sekitar 15 menit. Namun menjelang ibadah salat Jumat, beduk ditabuh dengan durasi lebih lama, sekitar 30 menit.

Selama Ramadan, Sukimin hanya bertugas menabuh beduk menjelang zuhur, asar, dan magrib saja.Sukimin menjelaskan Takmir Masjid Agung Solo menabuh beduk tengah malam khusus selama Ramadan.

Sekretaris Pengurus Masjid Agung, Abdul Basid Rochmad, mengatakan Beduk Masjid ditabuh pada tengah malam oleh petugas tata usaha atau satuan keamanan selama Ramadan. Beduk ditabuh selama 15 menit sampai 30 menit.

Menurut dia, Ketua Takmir Masjid Agung Solo, M. Muhtarom mendapatkan perintah dari istri Pakubuwono XIII untuk menabuh beduk setiap pukul 24.00 WIB. Menabuh beduk sebagai syiar Ramadan merupakan tradisi Keraton Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo.

“Menjelang subuh dihidupkan lagi ibadahnya. Ramadan diperbanyak ibadah dan dikurangi tidurnya. Kira-kira seperti itu maknanya,” kata dia.

Permintaan Keraton

Menurut dia, sebelumnya beduk masjid tidak selalu ditabuh oleh petugas selama Ramadan. Pihak Keraton Solo melihat pengurus Masjid Agung tidak menabuh beduk secara konsisten. Mereka pun kemudian meminta takmir Masjid Agung menabuh beduk setiap malam.

“Raja kan biasanya tirakatan atau ibadahnya malam ketika [takmir] Masjid Agung sudah membunyikan beduk,” paparnya.

Basid menjelaskan beduk di Masjid Agung Solo ini ukuran diameternya kira-kira 1,5 meter. Beduk ini konon sudah ada sejak zaman Pakubowono X yang dipakai untuk mengiringi suara adzan sebagai tanda waktu salat karena belum ada pengeras suara. Beduk terbuat dari kayu jati utuh yang dilubangi dan kulit sapi sebagai penutup lubang.

“Kulit sapi sudah beberapa kali diganti mungkin bisa 10 tahun sekali atau diganti jika dilihat tidak indah lagi. Diganti terakhir oleh keraton tiga sampai empat tahun lalu. Yang menganti merupakan donatur dari Jepang,” kata dia.

Menurut dia, banyak jemaah yang istirahat atau tidur di bawah beduk. Dia mengatakan, dari penjelasan jemaah yang tidur di bawah beduk, area tersebut memiliki suasana yang berbeda dibandingkan area serambi Masjid Agung Solo lainnya sehingga menjadi lokasi favorit.

-https://www.solopos.com/nabuh-beduk-tradisi-syiar-ramadan-di-masjid-agung-solo-1119322

Share