Kemendikbud: IPK Bukan Penentu Kesuksesan
KOMPAS.com – Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud), Wikan Sakarinto mengatakan, nilai Indeks Prestasi Kumulatif ( IPK) bukan penentu kesuksesan mahasiswa di masa depan.
“Kalau IPK jaminan sukses, maka itu salah. IPK tinggi, ya itu memang harus tinggi. Kalau IPK tidak mencukupi, maka kesulitan untuk dihubungi dunia kerja,” ungkap dia melansir laman UNS, Senin (1/3/2021).
Menurut dia, langkah terpenting yang harus diambil perguruan tinggi adalah membekali mahasiswanya dengan kompetensi yang mumpuni sebelum masuk ke dunia kerja.
Khusus untuk persiapan memasuki dunia kerja, dia meminta lulusan perguruan tinggi UNS tidak hanya mengandalkan ijazah kompetensi.
Melainkan, kata dia, lulusan UNS harus mengutamakan komampuan kognitif, soft skill, dan karakter.
“Kompetensi bukan sekedar mengandalkan ijazah kompetensi. Itu gabungan antara kognitif, soft skill, dan karakter. Tapi, setelah diterima (dunia kerja) maka yang berfungsi selamanya, soft skill,” ucap dia.
Wikan menegaskan, perusahaan atau industri banyak mengeluhkan kualitas lulusan perguruan tinggi yang dinilai kurang tahan terhadap tekanan saat bekerja.
“Ada data komplain dunia kerja kepada lulusan, yakni kurang dapat berkomunikasi, kurang dapat bekerjasama, kurang inisiatif, dan mudah bosan,” sebut dia.
Kerjasama perguruan tinggi dengan DUDI Dia menyampaikan, demi mengatasi komplain itu, Kemendikbud berkomitmen mewujudkan link and match antara perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri (DUDI).
“Ada 8 poin yang kita dorong link and match. Kenapa? Karena kita ingin menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dunia kerja,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dalam mewujudkan link and match yang baik antara perguruan tinggi dengan DUDI, maka tidak hanya sebatas penandatanganan kerjasama saja.
Namun, perguruan tinggi dengan DUDI harus bersama-sama menyusun kurikulum dan pengembangan soft skill pembelajaran berbasis proyek.
“Dosen juga harus ahli mengajar di kampus per program studi (Prodi) selama 50-100 jam,” kata Wikan. Selain itu, mahasiswa juga perlu menjalani magang minimal satu semester dan memiliki sertifikasi kompetensi.
Lalu, dosen dan guru wajib dikasi pelatihan oleh DUDI dan riset terapan yang harus mampu menjawab kebutuhan pasar dan masyarakat.
“Riset itu harus diarahkan dari belakang. Market ingin apa, masyarakat ingin apa. Ada tantangan apa, baru lakukan riset. Ini karakteristik riset terapan harus berkolaborasi dengan akademik,” pungkasnya.