GSM Dorong Pemerintah Buat Kurikulum Darurat Berorientasi Kebahagiaan Siswa

GSM Dorong Pemerintah Buat Kurikulum Darurat Berorientasi Kebahagiaan Siswa

GSM Dorong Pemerintah Buat Kurikulum Darurat Berorientasi Kebahagiaan Siswa

KOMPAS.com – Di tengah masa pandemi yang panjang ini, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mendorong Pemerintah untuk membuat “kurikulum darurat” yang orientasinya bukan hanya mengurangi beban materi namun juga capiannya membangun kebahagiaan dan kesadaran diri siswa.

Hal ini ditegaskan Founder GSM, Muhammad Nur Rizal, terkait hasil survei dampak PJJ selama 1 tahun yang dilakukan GSM. Survei menunjukkan sebagian besar siswa di masing-masing jenjang (SD, SMP, dan SMA) merasakan emosi negatif selama melakukan PJJ.

Dalam survei yang dilaksanakan kepada 533 siswa SD/MI, 445 siswa SMP/MTs dan 265 siswa SMA/SMK/MA, data memmperlihatkan 57,2 persen siswa SD, 57,1 persen siswa SMP dan 70,6 persen siswa SMA lebih dominan merasakan emosi negatif selama menjalankan PJJ.

Emosi negatif yang dirasakan siswa selama PJJ antara lain; perasaan bosan, sedih, kurang memahami materi, kesulitan belajar, stres, bingung, kurang semangat, kurang puas, merasa kurang efetif, kurang nyaman, kurang bisa mengatur waktu dan merasa terbebani.

“Emosi negatif menduduki peringkat pertama hal yang dirasakan terhadap tugas-tugas dari guru selama PJJ. Semakin tinggi jenjang pendidikan, gap antara emosi positif dan negatif semakin lebar,” ungkap Nur Rizal dalam konferensi pers yang digelar secara daring (10/8/2021).

Rizal menegarai hal ini disebabkan karena tugas yang disampaikan guru bukan meningkatkan kompetensi belajar malah membuat beban.

“Hal ini mengakibatkan anak merasa tidak senang dengan belajar. Merasa tidak ada keinginan belajar dan tidak produktif dalam belajar. Padahal semakin dewasa, kebutuhan kemandirian dan otonomi belajar semakin tinggi,” jelasnya.

“Hal ini berdampak pada penurunan kecerdasan dalam membangun peradaban yang semakin berdampak ke learning loss,”  tegas Rizal.

Kurikulum berorientasi kebahagiaan

Oleh karena itu, Rizal kembali mengharapkan Pemerintah melalui Kemendikbud Ristek untuk membangun kurikulum yang berorientasi membangun kebahagiaan dan kesadaran siswa.

“Kenapa ini penting? Karena orang yang sadar dan bahagia, kasmaran terhadap terhadap belajar, dia akan punya energi lebih lebih, motivasi lebih untuk mencapainya. Peran sekolah hanya menciptakan ekosistemnya saja,” ujar Rizal.

Ia menambahkan, “peran guru hanya memberi ruang saja agar passion bisa berkembang di sekolah, dalam kerangka akademi. Itu yang dilakukan sekolah dan guru karena materi pengetahuan sudah disiapkan artificial intelligence dan internet.”

Narasi kuat ini, lanjut Rizal, harus mampu disampaikan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim dan jajarannya hingga ke pemerintah daerah. 

“Bahwa orientasinya tidak lagi mengejar materi pengetahuan. Orientasi mengejar kebahagiaan dan kesadaran diri siswa agar pemerintah daerah tidak membuat kebijakannya sendiri,” kata Rizal.

Karenanya, bagi GSM pandemi justru menjadi titik balik terjadinya pembaharuan pendidikan dan bukan sekadar bencana yang difasilitasi dengan akses internet digital.

Dalam data survei yang sama, Co-Founder Novi Chandra mengungkapkan, dukungan orangtua berupa emotional support menempati tingkat tertinggi yang didapatkan anak selama PJJ. Peran keluarga sangat kuat untuk membantu proses belajar siswa agar lebih positif dan termotivasi.

Siswa SD (42,2 persen), SMP (49,6 persen) dan siswa SMA (53,7 persen) merasakan dukungan orangtua seperti memberi semangat, dukungan, doa atau kepedulian sederhana membangunkan pagi hari menjadi dukungan emosional positif yang dirasakan siswa.

Oleh karenya, GSM melihat perlunya kurikulum yang terkoneksi dengan keluarga dan kehidupan sosial untuk meningkatkan karakter dan nilai-nilai siswa.

“Kurikulum untuk mengatasi PJJ belum menyentuh dan mengakomodasi suasana kebatinan siswa di lapangan agar tetap termotivasi dalam belajar selama PJJ. Narasi ini tidak menjadi prioritas sehingga perubahan kurikulum apapun tidak mampu menggerakkan guru untuk membuat anak agar tetap antusias belajar,” ungkap Novi.

Pandemi jadi titik balik pembaharuan

Data menarik juga muncul dari survei yang dilakukan GSM di mana para siswa di ketiga jenjang pendidikan rindu pembelajaran tatap muka dapat dilakukan di masa depan.

Mayoritas siswa SD (76,3 persen), SMP (71 persen) dan SMA (68,7 persen) memiliki harapan pembelajaran bisa kembali dilakukan dengan tatap muka.

Selain itu, selama PJJ hampir 58 persen siswa SD hingga SMA menyukai fleksibitas selama PJJ seperti pengumpulan tugas, durasi belajar lebih cepat, bisa lebih santai hingga tugas yang tidak terlalu banyak.

Data dari kondisi pandemi, ujar Rizal, menunjukkan kita dapat belajar bagaimana sebaiknya pembelajaran masa depan dilakukan.

“Pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan siswa akan ruang otonomi dalam proses belajarnya adalah pembelajaran relevan masa depan. Pendidikan yang memberi otonomi ini akan mengarahkan kemampuan siswa beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya dengan cepat,” ungkap Rizal.

Ia kembali mengingatkan, pandemi harus dijadikan titik balik pembaharuan pendidikan.

“Era masa depan adalah era digital dimana teknologi bisa dimanfaatkan untuk membantu akses belajar serta meningkatkan mutu pembelajaran agar lebih fleksibel, penuh tantangan, dan interaktif secara massal,” jelas Rizal.

“Artinya, pendidikan harus bisa mengantisipasi perubahan dunia yang begitu cepat, termasuk era revolusi digital,” ujar Rizal mengingatkan,

Rizal khawatir, proses belajar berpotensi kembali pada pola lama ketika pandemi selesai apabila pandemi tidak kunjung dijadikan titik balik pembaharuan pendidikan.

“Pembaruan dalam kebijakan yang komprehensif dan sistematis harus segera dilakukan,” tutup Rizal.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/08/12/214417771/gsm-dorong-pemerintah-buat-kurikulum-darurat-berorientasi-kebahagiaan-siswa?page=all#page2

Share